Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sepenggal Kisah Si Bejo



Sumi telah kehilangan senyumnya sejak laki-laki itu pergi. Perih di hatinya seakan sudah membatu, membuatnya mati rasa atas tumpahan rasa yang lain, tidak juga atas benih di dalam rahimnya yang menginjak bulan ke enam. Menyesal memang tak kan pernah muncul di depan. Seandainya ia tahu akan berakhir seperti ini tentu ia tak akan mau diperistri seorang sales marketing dengan dandanan mentereng. Seandainya ia mampu meramal masa depannya tentu ia tak akan mau memberikan sisa warisannya untuk laki-laki itu. Seandainya ia punya firasat tiga bulan yang lalu ia akan menggugurkan saja jabang bayinya.
Air mata Sumi telah mengering, ia hanya mampu menangis dalam diamnya, dalam hatinya. Entah setan apa yang membuat Jamal, suaminya itu tak mempercayai
benih yang dikandungnya adalah benihnya sendiri, setelah setahun lamanya menikah dan ia sering pulang-pergi ke ibukota. Benih yang dulu dirawatnya penuh kasih disela kerinduan penantiannya. Benih yang ia harapkan akan membawa Jamal kembali padanya, tak hanya sebulan-dua bulan sekali, namun setiap hari, setiap saat. Cukuplah mereka menjadi sepasang petani kecil dalam rumah mungil mereka, menggarap sawah sepetak yang masih ada, menanam padi, memelihara ayam dan bebek, lalu hidup sederhana membesarkan anak-anak mereka. Namun mimpi Sumi harus runtuh oleh orang yang amat dicintainya.
“Benih siapa yang kau kandung itu, Ha?!!” Suara Jamal menggelegar. Sumi yang duduk di hadapannya sontak berdiri, telinganya seperti tersambar petir. Tak pernah disangkanya ia akan mendapatkan perlakuan seperti itu.
“Mas?! Apa maksud Mas?! Tidak ada laki-laki lain selain mas Jamal” Sumi masih menahan emosinya dan menahan tangis yang hampir pecah.
“Aku tidak percaya! Aku tidak mau mengakui bayi itu!” lengan kekar Jamal mendorong tubuh Sumi hingga ia tersungkur di lantai tanah rumahnya. Detik berikutnya Jamal membuka lemari pakaian dan menguras habis isinya, memasukkanya ke dalam tas besar yang dulu dibawanya dari Jakarta.
“Mas?! Mas?! Mau apa Mas? Jangan pergi mas Jamal….” Pinta Sumi di tengah isak dan perih hati.
Jamal sedikitpun tak menggubris Sumi. Langkah-langkah lebarnya dengan cepat meninggalkan rumah. Bahkan saat istrinya mengejar dan menggayuti kakinya, Sumi mendapat tendangan di perutnya. Rasa sakit membuatnya berhenti mengejar, sakit lahir dan batinnya. Tetangga yang menaruh iba hanya mampu mengintip dari balik bilik rumah mereka, tak berani mendekat sebelum Jamal benar-benar meninggalkan Sumi sendirian.
Hari – hari berikutnya Sumi hanya meratap, merapalkan do’a untuk kepulangan Jamal, menceracau namanya dan berharap laki-laki itu mendengar lalu luluh hatinya. Tiap pagi ia akan berdiri mematung di depan pintu rumahnya sembari mengelus-elus perutnya yang makin membuncit. Saat matahari semakin meninggi ia akan menyingkir mencari bayangan sejuk di bawah pohon randu di belakang rumah.
Sumi menyesal mengapa ia tak pernah menggugurkan kandungannya, membunuh darah daging yang tak diakui oleh penanamnya. Ia benci bayi itu,
“Alhamdulillah, bayi dan ibunya selamat. Bayinya sehat, Bu. Laki-laki. Sangat tampan” Bidan Indri tersenyum bahagia di hadapan Sumi. Namun perempuan itu hanya menatap kosong. Tak sedikitpun ia menanggapi perkataan bidan. Ia seperti baru terjaga dari mimpi panjang dan kenyataan yang harus dihadapinya teramat pahit.
“Alhamdulillah.. mana bayinya bu Bidan? Boleh kami lihat?” yang terdengar adalah suara Sarmi, kakak tertua Sumi yang selama ini paling rajin menjenguknya.
“Silakan, Bu. Nanti setelah aku mandikan bisa ibu bawa” jawab Bidan Indri. Sarmi tersenyum bahagia sekaligus trenyuh menyaksikan lahirnya bayi itu. Bayi yang ia beri nama Bejo, berharap keberuntungan menemani hari-harinya, tak seperti simbok[i] maupun bapaknya. Namun agaknya nama yang tersemat di darinya tak membuat Bejo seberuntung namanya. Hingga seminggu Sumi tak pernah mau menyusuinya bahkan tak pernah mau menyentuhnya.
Dasar bocah nggawa sial!”[ii] setan!” umpat Sumi suatu malam, saat ia terjaga dari tidurnya karena jeritan Bejo yang melengking memecahkan malam. Sampai kini ia tak pernah rela atas perginya Jamal dan ia melimpahkan semua kesalahan pada anaknya.
“Bocah sial! Gara-gara kowe bojoku lungo!”[iii] dan Sumi tak segan untuk menampar kuat-kuat pantat bayinya saat ia ngompol atau BAB. Sarmi yang mendapati itu hanya mampu mencegah dan merebut Bejo dari tangan Sumi. Ia sangat ingin membantu, namun apa daya kehidupannya pun tak bisa dibilang cukup. Anak-anaknya yang masih kecil terkadang harus puas hanya makan singkong dari kebun. Jika ditambah satu mulut lagi, dengan apa ia akan memberi makan?. Ah, Kasihan kau, Bejo. Budhe mu ini tak mampu membantu apa-apa, ratap Sarmi menatap mata bening Bejo di gendongannya. Beruntung suaminya sering mengijinkan ia datang menemani Sumi, bergantian dengan ibunya yang sudah lanjut usia.
***
“Aduh! Sakit! Sakit, Mbok! Ampuun..!” Bejo berteriak kencang, kakinya sebagian memar, sebagian lagi memerah berdarah. Di hadapannya berdiri Sumi dengan wajah garang memegang sebilah bambu. Nafasnya memburu dan matanya menyala-nyala menyiratkan amarah. Menit berikutnya ia memasukkan anak umur enam tahun itu ke dalam karung meski Bejo meronta dan menjerit kesakitan. Seharian anak itu mendekam di dalam karung yang dimasukkan ke dalam kandang ayam dan tertidur karena lelah.
“Sumi, mana Bejo anakmu itu?” tanya Sarmi saat sore itu menyambangi rumah Sumi. Namun ia hanya mendapati kebisuan. Merasakan gelagat tak baik Sarmi menelusuri setiap jengkal rumah mungil itu, mencari sosok Bejo. Ia amat terkejut mendengar suara mendengkur dari dalam karung di kandang ayam.
Mata Bejo sembab, badannya kotor dan lebam. Luka-luka di sekujur tubuhnya telah mengering. Anehnya ia seperti tak merasakan sakit sama sekali. Matanya menatap kosong, namun kadang berkilat ketakukan saat mendapati mata Ibunya tengah melolot padanya.
“Sumi! Kamu jahat sekali. Anak sekecil itu kau siksa setiap hari. Apa kau tak punya perasaan apapun? Dia itu anakmu!” Sarmi memarahi adiknya namun hanya berbalas pelototan.
Tanpa pikir panjang Sarmi menarik tangan Bejo dan meninggalkan Sumi sendirian. Bejo yang tak menyadari apa maksud Sarmi hanya tertatih mengikuti.
“Hahahahaha. Ha. Hahahaha” tawa Sumi terdengar menggelegar, namun sesaat kemudian tangisnya menyayat. Sarmi tak mempedulikan suara-suara di belakangnya, ia terus berjalan menggandeng Bejo. Ia menangis, batinnya menjerit. Keponakannya yang satu itu harus menanggung akibat kesalahan orangtuanya.
***
Rumah itu terlihat kumuh, tak jauh berbeda dengan rumah yang dulu ditempati oleh Bejo dan Ibunya. Dinding rumah terbuat dari anyaman bambu, sedang lantainya hanya beralaskan tanah. Tak ada satupun barang berharga yang tampak dirumah kecil itu. Yah.., sudah satu minggu ini Bejo tinggal bersama Sarmi dan keluarganya. Sarmi terpaksa membawa Bejo untuk tinggal di rumahnya karena dia merasa tidak tega melihat Bejo selalu disiksa oleh Ibunya. Sayangnya Maman suami Sarmi tidak terlalu senang dengan keberadaan Bejo di rumahnya. Tak jarang dia memukul Bejo ketika Bejo berbuat kesalahan. Terlebih Bejo sering tiba-tiba menghilang dari rumah, sehingga membuatnya kewalahan karena harus mencarinya. Hampir setiap hari terjadi  keributan karena ulah si Bejo.
“Pak.., Bejo kemana ya? aku cari-cari di rumah kok ndak ada?” Tanya Sarmi panik sewaktu pulang dari sawah dan mendapati Bejo tidak ada di rumah.
“Hmm anak itu.., setiap hari kerjaannya nyusahin oraang saja.., ndak tau apa kalo kita seharian capek!!”. Geram Maman emosi.., wajahnya tampak merah menahan amarah.
Ojo ngono[iv]  to pak…, Bejo itu keponakanku.,  aku tak rela kalo kamu selalu memarahinya tanpa alasan!!” Bela Sarmi , sambil terus mencari Bejo di setiap sudut rumahnya
“Iyaa.., aku ngerti, tapi lihat kondisi kita sekarang?! untuk makan saja susah.., ditambah lagi si Bejo itu. Sudah makannya banyak, kerjaannya nyusahin orang terus. Setiap hari selalu saja berulah. Kemaren dia tidur dibelakang rumah mbok Yem, kemarennya lagi Bejo tidur di jalanan. Gara-gara kelakuannya para tetangga jadi sering membicarakan kita. Aku malu sama tetangga bu, kalo tau bakal seperti ini, kemaren aku ndak ngijinin kamu bawa dia kemari..!” Maman terlihat semakin kesal.  
“Kenapa bapak malah justru menyalahkan Bejo, Bejo itu ndak salah pak. Kalau saja si Sumi tidak menyiksa dia seperti binatang pasti Bejo tidak akan seperti itu. Eh ini bapak malah ikut-ikutan memarahi dan menyalahkan Bejo. Ya..,  sudah kalo bapak ndak mau mencari biar aku saja yang pergi mencarinya..!!” Teriak Sarmi kesal, kemudian  pergi meninggalkan Maman yang masih diliputi kemarahan.
***
Hari sudah mulai gelap, tapi Sarmi belum juga menemukan Bejo. Seluruh rumah sudah ia geledah. Beberapa orang tetanggapun sudah ia tanyai kalau-kalau melihat Bejo disekitar rumah mereka, tapi belum juga membuahkan hasil. Sarmi semakin gelisah, bayangan yang tidak-tidak mulai menari-nari di pikirannya.
“Hmm.., kemana lagi itu anak, apa mungkin dia pulang ke rumah Sumi?” Batin Sarmi menduga-duga.
“Saar.., Sarmii..!!, Ini Bejo ada disini” teriak sebuah suara mengagetkan Sarmi. Sarmipun mencari sumber suara tersebut. Tampak olehnya seorang perempuan setengah baya tengah menggandeng Bejo yang terlihat sangat kotor. Sarmi pun berlari menuju kearah mereka.
“Dimana bu Winarni menemukan Bejo?  Kenapa Bejo kotor begini?” tanya Sarmi panik.., seraya membersihkan tubuh Bejo yang penuh kotoran kambing. Bejo hanya diam saja.., tatapan matanya kosong tanpa ekspresi. Disana-sini terlihat memar ditubuhnya.
“Tadi sewaktu aku ke kandang kambing, aku melihat Bejo tertidur didalamnya, mungkin karena dia takut untuk pulang ke rumah jadi dia memilih untuk tidur di kandang kambing” Bu Winarni menjelaskan.
“Sar.., kenapa Bejo tidak dititipkan saja di panti asuhan, supaya dia mendapatkan pengawasan dan pendidikan yang lebih baik” Ujar Bu Winarni hati-hati, dia tampak prihatin melihat kondisi Bejo yang terlihat trauma dan ketakutan.
“Ta.., tapi bu.., dia keponakanku, aku yakin bisa merawatnya dengan baik” kata Sarmi sambil memeluk tubuh Bejo, Bejo tetap diam bergeming.
“Iya.., tapi lihat kondisi keluargamu? Setiap hari kamu dan suamimu sibuk di sawah, tak ada waktu untuk mengurus Bejo. Dan sepertinya suamimu pun tidak terlalu suka dengan keberadaan Bejo. Aku sering mendengar dia berteriak-teriak memaraih Bejo. Apa hal ini malah justru akan membuat kondisi Bejo menjadi lebih buruk?” Kata bu Winarmi mencoba menasihati Sarmi. Sarmi tampak berpikir keras, seraya membersihkan kotoran yang melekat ditubuh Bejo. Bejo hanya diam, sesekali ia menyibakkan tangan Sarmi, setiap kali Sarmi menyentuhnya dan berusaha untuk membersihkan kotoran ditubuhnya.
“Hmm.., iya bu memang suamiku tidak suka dengan Bejo, mungkin itu juga yang menyebabkan Bejo tidak betah tinggal dirumah  dan sering keluyuran tidak jelas. Baiklah Bu, aku setuju jika Bejo dititipkan di panti asuhan, semoga dengan begitu kondisi Bejo bisa membaik”. Kata Sarmi kemudian.
“Baiklah insya Allah besok aku akan temani Bejo ke panti asuhan” Kata bu Winarni tersenyum lega.
***
Esok harinya dengan ditemani  bu Winarni, Bejo diantar ke panti asuhan. Sesampainya di panti, Bejo masih terlihat tanpa ekspresi, tatapan matanya kosong,  sesekali dia mengerang menahan sakit, karena lebam-lebam di sekujur tubuhnya yang belum juga sembuh. Semula pihak panti asuhan merasa keberatan ketika melihat kondisi Bejo yang terlihat sangat mengenaskan. Terlebih Bejo sangat susah ketika diajak berkomunikasi. Setiap kali ditanya, dia hanya diam, tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Setiap bertemu dengan orang baru raut wajahnya berubah, tubuhnya beringsut menjauh ketika ada orang yang berusaha untuk mendekatinya.
Dua pekan sudah Bejo tinggal di panti asuhan Al-Ihsan. Selama itu ia menjadi buah bibir anak-anak panti lainnya serta menjadi objek kejahilan mereka. Belum terlihat adanya perubahan dalam diri Bejo.
Siang itu Bejo tengah menikmati ketela mentah di pinggir sawah. Sawah itu persis di belakang panti dan menjadi tempatnya bermain atau mencari ikan-ikan kecil. Ia memang tak pernah merasa nyaman hidup di dalam panti. Ia lebih bebas hidup di alam, seolah hanya alam yang mau memahami dirinya.
“Assalamu’alaikum, Bejo, sedang makan apa?” Bu Siti, Pembina panti tiba-tiba menyapa Bejo dan ikut duduk di pematang seperti Bejo. Ia tak peduli kakinya terkotori air sawah dan lumpur di sekitarnya. Bejo hanya diam, tak sedikitpun menggubris ibu pantinya.
“Bejo makan ketela mentah ya? Enak Nak? Manis ya?” bu Siti tak sedikitpun terpengaruh diamnya Bejo. Anak kecil itu memang tengah menikmati ketela mentah sisa panen yang tertimbun tanah cukup lama hingga kadang bertunas lagi. Rasanya memang manis. Anak-anak kecil di desa seringkali makan ketela seperti itu saat di sawah.
“Boleh Bu Siti minta?” tanya bu Siti lagi, masih dengan sabar bertanya dan duduk menemani Bejo.
Tiba-tiba Bejo menoleh dan memandangi Bu Siti ragu-ragu. Bu Siti memberikan senyumannya sekali lagi dan mengangguk meyakinkan Bejo. Perlahan Bejo mengangsurkan ketela di tangannya. Bu Siti menerimanya dengan riang, tangannya mengelus kepala Bejo. Bejo tiba-tiba seperti ingin menangis, satu hal yang amat jarang dilakukannya.
“Bejo senang tinggal di sini?” tanya bu Siti kemudian, kini ia merangkul Bejo. Tak peduli bau badan anak itu yang menyengat karena beberapa hari tak mau mandi.
“Kalau Bejo tidak senang, Bejo bilang saja ke Ibu. Bu Siti ini Ibu Bejo di sini. Kalau ada teman-teman yang menjahili Bejo, laporkan saja ke Ibu, ya?” lagi-lagi Bu Siti tak mendapakan respon dari Bejo.
“Bejo lapar tidak? Kita makan nasi yuk, Ibu juga belum makan. Nanti Ibu temani Bejo makan”.
Bejo tetap bergeming, seperti sebelum-sebelumnya saat Bu Siti mengajaknya bicara. Kali ini Bu Siti tetap duduk di samping Bejo meski anak itu hanya mendiamkannya.
Orang-orang mulai pulang dari sawah, tanda waktu ashar hampir tiba. Bu Siti masih bertahan di samping Bejo. Tapi karena ia harus menyiapkan diri untuk shalat ashar, ia harus menunda keinginannya berbicara lagi dengan bejo.
“Yasudah, kalau Bejo ndak mau makan sekarang, ndak apa-apa, tapi Ibu mau pulang dulu ya, mau shalat ashar. Assalamu’alaikum..” pamit Bu Siti, tak lupa sekali lagi mengelus kepala Bejo. Baru beberapa langkah Bu Siti meninggalkan Bejo saat ia mendengar teriakan tertahan.
“Ibu!” sontak ia menoleh dan mendapati Bejo tengah berdiri di pematang, memandanginya sembari menahan tangis. Bu Siti melangkah cepat menghampirinya, ia berjongkok dan menyejajarkan dirinya dengan kepala anak itu, lalu merengkuhnya ke dalam pelukan.
Mereka tak berkata-kata. Bu Siti pun terharu dan tak henti mengucap syukur kepada Allah. Hari ini, anak yang dititipkannya mulai menunjukkan kemajuan yang sangat berarti. Satu hal kecil yang semoga membawa perubahan baik berikutnya.
Suara adzan yang terdengar dari masjid seolah menjadi saksi atas perubahan dan kebahagiaan hari itu. Lantunannya yang menyejukkan menyesak ke dalam hati setiap orang yang melihat adegan Bejo dan Bu Siti. Anak-anak panti yang bersiap menuju masjid mengehntikan langkahnya. Sebagian yang masih kecil bergemuruh tak jelas apa yang diucapkan. Sementara yang lebih besar dan telah mengerti apa yang terjadi tak mampu menahan bulir air mata mereka. Orang-orang pun menangis bahagia. Terselip do’a dalam hati mereka, untuk seorang anak bernama Bejo.
***

*Untuk seorang anak yatim yang telah menginspirasi cerita ini, kami hanya bisa mendo’akan yang terbaik untukmu. Semoga ujianmu di masa kecil itu akan menyemai indah di masa depanmu kelak _ArieNitha_



Glossary:



[i] Simbok (B. Jawa)                               :  Ibu
[ii] Pancen Bocah nggawa sial!”[ii]       : “Memang anak pembawa sial!”
[iii] Gara-gara kowe bojoku lungo!     :  Karena kamu suamiku pergi
[iv]Ojo ngono                                            : Jangan seperti itu


*Cerpen ini dikutsertakan dalam LOMBA BLOG YATIM PKPU SEMARANG 2015

Posting Komentar untuk "Sepenggal Kisah Si Bejo "